Saturday, January 12, 2013

TUNDUK DAN BERSYUKURLAH

TUNDUK DAN BERSYUKURLAH


             Ditengah guyuran hujan, jalan sepi seorang tukang sayur tua lewat. menawarkan ikatan-ikatan kangkkung dan daun pepaya. Ketika berhenti diujung gang pri separuh baya itu dikerumuni ibu-ibu yang hendak membeli daganganya. termasuk saya.
Ikut menawar dagangan laki-laki itu, saya memilih paling akhir membeli. Kesepakatan penawaran bareng itu, kangkung yang semula dijual seribu per ikat menjadi Rp.!500/2 ikat.
Tak tega melihat keadaan penjual yang menggigil kedinginan dan tak memakai pelindung hujan apapun. saya ambil dua ikat kangkung saya angsurkan uang dua ribu perak. Dan lari pulang, karena gerimis makin membesar.
"Neng, kembaliannya!"
"Ambil saja Pak!"
"Si eneng gimana sich, ikut-ikutan nawar. dibayarnya sama saja. Tetapi, muhun Neng."
              Itu bukan pertama kalinya aku berbelanja seperti itu. Heboh menawar barang yang mau dibeli, tapi diujung-ujungnya aku tetap membeli dengan haraga yang ditawarkan pedagang. 'Bad habit' kata suami. karena kebiasaanku itu sering menjadi pertengkaran kami. Bukan maslah uang yang diributkan tetapi, kenapa aku harus heboh menawar kalau pada akhirnya aku bayar juga dengan harga awal.
"Itulah seninya berbelanja,"dalihku setiap diprotes suami.
              Sesungguhnya aku  merasa tak tega melihat para pedagang-pedagang keliling itu. tak ada yang bisa kuperbuat kecuali membeli sedikit dagangannya. Sejauh masih termanfaatkan. Sifat itu sudah ada sejak aku kecil. Saat liburan ke Borobudur dengan keluarga, aku memborong hiasan dinding dari bambu. Bambu yang dibelah jadi dua, kemudian sisi luarnya dikelupas sesuai sketsa yang ada.
             Komentar bapak saat melihatku kerepotan membawa hiasan-hiasan itu adalah
"Anak ini apa bisa kaya besok ya? Kalau kelakuannya seperti itu?"
"Kog ngomong sepeti itu?"ibu balik bertanya.
"Lihat saj! Tabungannya habis buat beli hiasan seperti itu! Dia sendiri bisa membuatnya kan?"
Saat itu aku hanya terdiam, tak membayangkan akan seperti apa kehidupanku kelak. masa bodoh dengan tindanku tersebut.
             Kuulangi kisah yang sama saat di Tawangmangu. Aku dikejar-kejar penjual tanaman suplir. Aku tak suka suplir sama sekali. Indah sich, tapi perawatannya itu. Rumit. Tetapi entah kenapa aku membeli juga beberapa polibag kecil tanaman suplir. Kasihan melihat ibu penjual suplir itu. Tak peduli uang sakuku habis untuk membeli suplir yang akhirnya mati merana karena aku tak mau repot mengurus suplir-suplir itu.

        Aku bersyukur masih ada orang-orang tangguh yang mencari nafkah secara halal. Meski hasilnya kadang tak sebanding dengan besarnya tenaga yang mereka keluarkan. Mereka tetap profesional dalam menjalankan kewajibannya mencari nafkah.
             Aku bersyukur masih ada  pemulung, masih ada pengamen, masih ada tukang sapu jalanan, masih ada tukang parkir, masih ada buruh gendong bahkan masih ada anak-anak kecil mengedarkan tas kresek jumbo dipasar-pasar tradisional. Mereka kaum marginal, tetapi bertahan dengan caranya sendiri mencari seperak dua ribuperak untuk menyambung hidup.
              Dari sana kita harus belajar tunduk. untuk melihat beruntungnya kita. Kita tidak menjalani kehidupan keras seperti mereka. Kita lebih beruntung dari mereka (meski belum tentu semulia mereka). Karena tidak semua orang bisa mencari nafkah dengan cara yang halal. Tidak semua orang mengejar rejekinya dengan cara yang benar, tidak semua orang mewujudkan keingannya dengan cara yang jujur.
                Kita harus tunduk dan bersyukur:
1. Masih ada orang yang jujur dalam mencari nafkah
2. Masih ada yang mau mengerjakan pekerjaan kotor, yang kita sendiri mungkin tak mau mengerjakannya (tukang sampah, kuli bangunan)
3. Allah SWT memberi kehidupan yang lebih baik pada kita.
4. Kebahagian itu adanya dihati dan hanya diri sendiri yang bisa merasakannya. Bukn pada materi.
5. Dan saya sangat bersyukur dan berterimakasih sekali.. Allah masih mengijinkan saya menulis.

A l h a m d u l i l l a h


   Kotahujan, Januarihujan